SALAH satu kenyamanan yang dapat dinikmati para pendatang di
Bandar Seri Begawan, ibu kota Brunei Darussalam ialah kenyamanan naik
bus kota. Berbeda dengan warga Jakarta yang selalu berdesakan dan
mesti menjalani kesengsaraan lain tatkala berada di dalam bus kota,
di Brunei semua bus kotanya hampir selalu tidak terisi penuh.
Penumpangnya pun hampir semuanya tenaga kerja asing, termasuk tenaga
kerja Indoensia (TKI) yang tengah mengadu nasib di negara itu. Warga
setempat pada umumnya terbiasa dan dimanja dengan kenyamanan mobilnya
masing-masing.
Kenyamanan lain yang bisa dirasakan di dalam bus kota berwarna
ungu itu, ialah kebiasaan sopir-sopirnya yang dapat berperilaku
tertib di jalan raya. Tidak akan dijumpai sopir bus kota mengerem
mendadak kendaraannya, menaikkan penumpang di bukan tempat tunggu
penumpang, menabrak lampu merah, memotong kendaraan di belakangnya,
atau mendahului bus kota di depannya, apalagi kebut-kebutan. Naik bus
kota di Bandar Seri Begawan dan kota lain di Brunei Darussalam,
semuanya adem ayem, seperti ademnya suasana di dalam bus yang selalu
tidak dijejali penumpang.Realitas seperti itu, tentunya sangat berbeda jauh dengan
kebiasaan sopir-sopir bus kota, angkot, dan kendaraan lain di Jakarta
dan kota lain di Indonesia. Gara-gara kelakuan sopir yang tidak
disiplin, lalu-lintas kendaraan pun kerap semrawut. Namun anehnya,
sebagian sopir-sopir yang biasa semau gue ketika berkendaraan di
Indonesia, akhirnya bisa berubah saat menjadi sopir bus kota di
Brunei.
"Kami harus ikut peraturan di sini. Kalau tidak pasti akan
terkena denda terus, karena melanggar lalu-lintas dan ditangkap
polisi. Kalau satu kali pelanggaran saja terkena denda 50 ringgit,
habis uang gajian saya," kata Azir (35), Kamis (28/9), salah seorang
sopir bus kota di Brunei Darussalam. Ayah dua anak asal Tulungagung,
Jawa Timur itu sudah 14 bulan menjadi sopir negara kaya minyak
tersebut. Sebelum mengadu nasib di Brunei, Azir adalah sopir bus
antarkota antara Surabaya-Trenggalek.
Bagi Azir, menjadi sopir di Brunei telah mengubah kebiasaannya
yang kadang ugal-ugalan di jalan raya. Itu semua bisa dilakukannya,
karena ketatnya peraturan lalu-lintas di Brunei. "Pada awalnya, saya
mengalami kesulitan juga menjadi sopir di Brunei ini, karena sudah
terbiasa berkendaraan di Indonesia. Tetapi lama-lama saya terbiasa,"
katanya.Salah satu hal sepele yang sempat menyulitkannya ketika pertama
kali menyopiri bus di Brunei ialah memberi kesempatan kepada
kendaraan lain yang berjalan searah untuk lewat terlebih dahulu, saat
bus kotanya hendak berangkat dari halte. Kesabaran dibutuhkan sopir,
karena harus menunggu hingga lajur jalan yang akan dimasuki bus
setelah keluar dari halte benar-benar sepi. Semua sopir bus kota di
Brunei yang terpantau Kompas selama beberapa hari, melakukan
kebiasaan itu.
Kebiasaan lain yang kini dijalani Azir adalah memberangkatkan bus
sesuai jadwal dari terminal. Meskipun hanya baru ada seorang
penumpang atau bahkan tidak ada seorang pun penumpang, dia akan tetap
memberangkatkan busnya.
Sampai bisa patuh begitu, berapa sih Azir digaji pengusaha bus
kota di negara tetangga itu? "Tidak banyak, kalau dirupiahkan hanya
sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Jumlah sebesar itu pun bisa saya
dapatkan dengan menjadi sopir bus di Indonesia. Namun saya mulai
betah di Brunei ini, karena tidak lagi merasa tegang di jalan. Kalau
di Indonesia, setiap hari pasti kebut-kebutan untuk menguber
penumpang," tutur Azir yang seperti sopir lain menerima pula sejumlah
komisi dari pendapatan bus kota.
Zaini (42) asal Jember juga telah sekitar setahun ini menjadi
salah seorang sopir bus kota di Brunei. Sebelumnya, dia telah sekitar
19 tahun menjadi sopir truk di daerah asalnya. Sama seperti Azir,
Zaini pun merasakan ketenangannya dalam menjalankan bus di Brunei.
Seperti ratusan sopir bus lain di Brunei dari berbagai negara seperti
Banglades dan Filipina, Zaini pun patuh pada semua peraturan
berlalu-lintas.
0 komentar:
Posting Komentar